AXA Short Movie Competition: Saya Berani!


Berita CINEMAGS

Seiring dengan maraknya produksi film pendek yang dibuat oleh anak-anak muda Indonesia, Cinemags sebagai majalah film terbesar di Indonesia menyadari betul bahwa hal positif ini perlu didukung. Dengan menggandeng perusahaan asuransi terbesar, AXA Indonesia, Cinemags akan mengadakan kompetisi film pendek bertajuk AXA Short Movie Competition. 
 
Mengusung tema “Saya Berani”, rangkaian acara ini akan dimulai dari bulan Mei hingga Juni2013 yang ditutup oleh malam apresiasi (awarding night) pada bulan Juli 2013. Untuk lebih mengenalkan kompetisi ini pada publik, akan diselenggarakan workshop di tiga kota besar dengan rincian Kota Jakarta pada tanggal 6 Mei 2013 (Marley’s Cafe) & 8 Mei 2013 (SAE Institute), dilanjutkan Kota Bandung: 13 Mei 2013 (Fikom UNPAD Jatinangor), dan KotaYogyakarta: 16 Mei 2013 (Universitas Atmajaya).
 
 
Dalam workshopnya nanti akan dijelaskan mengenai tips dan trik seputar pembuatan film pendek yang dipandu oleh dua nama yang sudah tidak asing di mata para…

Lihat pos aslinya 178 kata lagi

TIDAK ADA PAKSAAN DALAM (MEMASUKI) AGAMA (ISLAM) “TIDAK ADA PAKSAAN DALAM BERTRANSAKSI SECARA ISLAMI”


Tidak ada paksaan dalam (memasuki) agama (islam). Kata-kata tersebut terdapat dalam kitab suci al-quran surat al-baqarah ayat 256. Yang berarti menegaskan tidak boleh memaksa sesuatu untuk mengikuti semua ajaran islam, karena sudah jelas jalan antara yang baik dan yang buruk. Jadi setiap manusia yang sudah dewasa berhak memilih untuk kehidupannya sendiri untuk menuju kepada yang baik atau justru kepada yang buruk, termasuk dalam beragama baik secara ibadah maupun muamalah.

Dalam islam juga mensyaratkan kemerdekaan dan bebas dari keterpaksaan. Nilai esensial kemerdekaan yang berkaitan erat dengan martabat manusia, yang ditentukan oleh dua hal, yaitu iman dan amal. Pertama; iman, tidak ada iman yang hadir karena keterpaksaan, kedua; amal, baik ucapan atau perbuatan, amal bisa bernilai baik atau buruk jika muncul dari kebebasan atau kemerdekaan dalam memilih yang ditegaskan dalam niat. Amal yang dilakukan karena keterpaksaan tidak akan bernialai apa-apa alias percuma saja.

Begitu juga dalam bertransaksi secara islami di perbankan syariah, tidak boleh ada paksaan untuk mengajak orang agar mau bergabung dengan perbankan syariah. Karena perbankan syariah juga bagian kecil dari sistem islam yang ada di dunia yang terdiri dari aqidah, akhlaq, dan syariah. Yang tepatnya berada dalam sistem syariahnya, sehingga perbankan syariah tak dapat dipisahkan dari sistem islam secara keseluruhan.

Ibarat orang yang sedang berjalan di jalan raya yang ada cabang dan tikungannya. Dalam jalan tersebut sudah dikasih rambu-rambu dan peringatan lainnya. Misalnya kita dikasih dua pilihan yang berbeda antara belok kanan atau mau belok kiri. Katakanlah yang belok kanan adalah jalur perbankan syariah dan yang belok kiri adalah jalur perbankan konvensional. Yang jalur belok kanan jalur perbankan syariah yang sebelumnya sudah dikasih rambu-rambu dan peringatan seperti; jalan aman, halus, cepat sampai, bebas hambatan, tapi harus bayar agak mahal. Yang belok kiri jalur perbankan konvensional yang juga sudah dikasih rambu-rambu dan peringatan, seperti; jalan berbahaya, banyak tikungan, banyak jeblongan, lagi rusak dan diperbaiki, ramai, macet, tapi jaraknya lebih pendek. Kita sudah dikasih dua pilihan yang kita sendiri menentukan dan pasti kita juga sudah bisa memprediksi segala kemungkinan yang akan terjadi jika kita memilih melwati jalan yang sudah kita pilih. Tergantung kita mau memilih yang mana antara kedua tersebut.

Jadi sudah jelas antara keduanya. Jika kita memilih perbankan konvensional ya itu adalah pilihan kita yang harus kita tanggung juga segala macam resikonya. Tapi jika kita memilih perbankan syariah ya itu adalah juga pilihan kita yang pastinya kita juga akan mendapatkan manfaat dan resikonya juga.

HARUSKAH OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DITERAPKAN DI INDONESIA?


Setelah DPR-RI menyelesaikan rapat paripurna pada tanggal 19 Desember 2003 tentang amandemen undang-undang (UU) Bank Indonesia. Usulan amandemen undang-undang ini diusulkan oleh Pemerintah era Presiden Gus Dur melalui Departemen Keuangan waktu itu yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Boediono. Boediono menyebutkan bahwa undang-undang hasil amandemen tersebut adalah undang-undang bank sentral modern.

Masalah yang paling krusial dalam pembahasan amandemen undang-undang tersebut adalah siapa yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi lembaga perbankan di Indonesia. Terjadi tarik ulur yang alot antara Bank Indonesia dengan Pemerintah yang diwakili Kementrian Keuangan. Negosiasi yang alot tersebut menghasilkan titik temu, yaitu membentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan dibentuk selambat-lambatnya pada akhir tahun 2010.

Dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, berarti telah memangkas salah satu kewenangan Bank Indonesia, yaitu dalam fungsi pengawasan terhadap perbankan umum di Indonesia. Pemisahan kewenangan tersebut berarti Bank Indonesia tidak mempunyai hak pengawasan lagi, ibarat harimau tak bertaring. Akhirnya perbankan umum sudah tidak tunduk lagi terhadap kebijakan Bank Indonesia sebagai pengawasnya.

Pemisahaan antara kewenangan pengawasan (OJK) dan kewenangan pengaturan (BI) industri perbankan tidak tepat dan sangat lemah. Karena pengawasan bank meliputi fungsi pengaturan, pengawasan (audit), pengenaan sanksi dan pemberian/pencabutan ijin usaha sehingga keempat fungsi tersebut harus berada di satu tangan. Pemisahan antara pengawasan (audit) dengan pengaturan tentunya akan menimbulkan berbagai masalah koordinasi. Kita semua paham bahwa koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Dengan amendemen masalah ini dapat diselesaikan karena OJK memiliki seluruh fungsi pengawasan tersebut.

Melihat pengalaman-pengalaman dari negara-negara maju yang terdapat lembaga semacam OJK, ternyata telah gagal dan membawa dampak buruk terhadap perekonomian nasional di negara yang bersangkutan tersebut. Contohnya di Jepang dalam menerapkan FSA, suatu lembaga semacam OJK, pada saat industri perbankan Jepang masih bermasalah. Penerapan FSA ternyata tidak membuat industri perbankan Jepang menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari bangkrutnya Long-Term Credit Bank dan Nippon Credit Bank, dua bank besar yang terbukti merekayasa pembukuannya. Masalah koordinasi antara FSA dengan bank sentral juga muncul misalnya dalam kasus Ishikawa Bank dan masalahkredit macet dan kecurangan (fraud) masih mewarnai perbankan Jepang.

Terkait dengan lembaga apa yang akan berwenang mengawasi industri perbankan di Indonesia. Semua kembali pada kebijakan politik DPR di luar kewenangan Bank Indonesia. Siapa yang berkepentingan kebijakan tersebut dan siapa yang lebih kuat pengaruhnya. Akan tetapi kebijakan tersebut haruslah pro-rakyat dan untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan golongan semata saja.

Dengan melihat fakta empiris dan pengalaman-pengalaman dari negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Inggris yang telah gagal menerapkan sistem pengawasan perbankan kepada lembaga semacam OJK. Apakah di Indonesia juga masih perlu diterapkan dan dibentuk OJK untuk mengawasi perbankan?

PROBLEMATIKA PEMBIAYAAN DAN SOLUSI CARA MENGATASINYA


Berbagai problematika atau resiko pembiayaan terdiri atas beberapa faktor dan cara mengatisinya, antara lain:

1. Politik

Banyak penyaluran pembiayaan yang gagal sebagai akibat tidak adanya kebijakan politik yang jelas. Politik yang stabil merupakan faktor yang sangat menentukan dalam keberhasilan kegiatan usaha/customer. Suatu negara yang sedang bergejolak seperti Indonesia pada kurun waktu 1997-2003 dan sendi-sendi perekonomian hancur, maka banyak usaha yang hancur berantakan, macet, dan bahkan sulit untuk kembali bangkit seperti sebelum terjadi krisis moneter pada pada pertengahan tahun 1997. akibat krisis moneter ini, banyak perusahaan yang terpaksa gulung tikar dan akhirnya merefleksi hancurnya bisnis perbankan yang berakhir dengan likuidasi beberapa bank.

Maka, cara yang terbaik untuk mengatasinya adalah dengan menstabilkan situasi politik dan perekonomian negara tersebut agar keadaan stabil dan pembiayaan di berbagai sektor lancar.

2. Sifat Usaha

Setiap usaha mempunyai resiko/problematika sesuai dengan karakter usahanya, bahkan antar usaha yang sejenis pun mempunyai resiko yang berbeda pula. Oleh karena itu, ketika akan membiayai suatu jenis usaha customer perlu diketahui secara baik resiko yang akan dihadapi di kemudian hari, sehingga dapat diantisipasi sebelum resiko tersebut benar-benar terjadi.

Maka, cara terbaik untuk menghadapinya adalah dengan tidak menyamakan setiap jenis usaha, dan penyaluran pembiayaan tetap perlu melihat kasus per kasus.

3. Geografis

Masalah ini dimungkinkan timbul karena kesalahan memilih tempat atau lokasi usaha, sebagai akibat kurang cermatnya memilih lokasi yang tepat dan aman. Pembiayaan usaha customer yang berlokasi di daerah yang rawan bencana dan tidak cocok untuk suatu bisnis yang dimohon oleh customer.

Maka, cara untuk mengatisnya adalah dengan cara memprediksi dan mencari suatu daerah yang aman dan kemungkinan untuk terjadi bencana kecil.

4. Persaingan

Bisnis apapun ingin dimasuki oleh customer tidak akan terlepas dari akan terjadinya persaingan bisnis. Persaingan ini dapat terjadi antara customer dengan usaha yang sejenis, atau dapat pula antarbank yang ingin sama-sama membiayai proyek sejenis atau bahkan pada proyek yang sama.

Maka, cara untuk mengatasinya adalah dengan cara melakukan usaha-usaha yang baik dan bersaing dengan sehat.

5. Ketidakpastian Usaha

Ketidakmampuan meramal/memprediksi kondisi yang akan datang berakibat fatal untuk bisnis. Akibatnya banyak usaha yang dilakukan secara spekulasi dan bahkan didasarkan pada perhitungan yang akurat.

Maka, cara mengatisinya adalah dengan mampu memprediksi keadaan yang akan datan yang akan terjadi pada usaha tersebut.

PENERAPAN ASPEK KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI BANK SYARIAH


Dalam upaya mewujudkan Good Corporate Governance transparansi (keterbukaan) merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilaksanakan. Keterbukaan informasi menjadi suatu keharusan dan kebutuhan bagi bank syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan dan lembaga kepercayaan yang dipercaya untuk mengelola dana yang telah masuk (funding) untuk disalurkan (lending) dengan baik dan benar ke sektor riil, bisa dipertanggungjawabkan serta sesuai dengan syariah.

Prinsip dasar transparansi (keterbukaan) berhubungan dengan kualitas informasi yang disajikan oleh perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator-indikator yang sarna.

Prinsip keterbukaan merupakan prinsip yang penting untuk mencegah terjadinya tindakan penipuan (fraud). Dengan pemberian informasi berdasarkan prinsip keterbukaan ini, maka dapat diantisipasi terjadinya kemungkinan pemegang saham, investor atau stakeholders tidak memperoleh informasi atau fakta material yang ada. Dengan Prinsip keterbukaan (transparency). artinya, bank syariah berkewajiban memberi informasi tentang kondisi dan prospek perbankannya secara tepat waktu, memadai, jelas, dan akurat. Informasi itu juga harus mudah diakses oleh stakeholders sesuai dengan haknya. Hal ini dapat digunakan sebagai dasar bagi mereka untuk menilai reputasi dan tanggung jawab bank syariah. Prinsip ini dimuat dalam ketentuan Pasal 62 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS).

Adapun penerapan prinsip ini adalah sebagai berikut. Bank Syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan dan lembaga kepercayaan selalu melaksanakan kewajibannya, khususnya dalam menerapkan Good Corporate Governance serta menyampaikan laporannya kepada Bank Indonesia (BI). Hal ini sebagai wujud komitmen bank dalam melaksanakan ketentuan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Penerapan Good Corporate Governanace pada Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) serta Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No.9/12/DPNP tanggal 30 Mei 2007, khususnya Pasal 62 dan Pasal 63 mengenai kewajiban Bank menyampaikan laporan pelaksanaan Good Corporate Governance, baik secara tersendiri maupun digabungkan dalam laporan keuangan.

Semua laporan tersebut termasuk laporan keuangan tidak dikeluarkan oleh Kantor Cabang Bank Syariah di seluruh Indonesia, tetapi dikelurkan langsung oleh Pusat dan dari Cabang yang melakukan operasional dengan memberi data kepada Kantor Pusat  setiap hari melalui komputerisasi on-line. Laporan keuangan tersebut disajikan melalui berbagai media informasi nasional tiap bulan, triwulan dan tahun serta melalui website masing-masing Bank Syariah.

Dalam pelayanan nasabah pendanaan, penyediaan informasi sangat diperlukan karena untuk menjaga kepercayaan. Informasi tersebut dapat berupa: sms banking, internet banking, mobile banking, via ATM (automatic teller machine), dan via CS (customer service). Penyampaian informasi juga bisa melalui brosur-brosur, spanduk, koran, media cetak, media elektronik, dan radio. Pemberian informasi diperbolehkan selama tidak melanggar Undang-Undang. Sedangkan penyampaian informasi dari pimpinan kepada karyawan disampaikan pada waktu breafing pagi dan meeting lainnya serta melalui pamplet yang ditempel di majalah dinding dan pengumuman.

Keterbukaan informasi kepada publik dan stakeholders dalam Bank Syariah juga merupakan amanat dari UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Kewajiban penyediaan dan pengumuman informasi menurut urgensinya ada tiga macam, yaitu:

  1. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; seperti: laporan keuangan (tiap bulan, triwulan, dan tahun), nisbah bagi hasil (tiap bulan), dan standar layanan (tiap tahun 1 kali atau 2 kali).
  2. Informasi yang wajib diumumkan serta merta; seperti: adanya hal-hal dari faktor eksternal (bencana alam, kebakaran, dll) yang mengharuskan bank melalukan perubahan dan penyelamatan, dan kinerja para Direksi (Top Management).
  3. Informasi yang wajib tersedia setiap saat; seperti: promosi produk-produk, tarif biaya, dan transaksi mencurigakan (> Rp. 500.000.000) yang harus dilaporkan ke PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).

PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PERBANKAN SYARI’AH


Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance menjadi suatu keniscayaan bagi sebuah institusi, termasuk bagi lembaga keuangan seperti bank syari’ah. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab kepada masyarakat atas kegiatan operasioanal bank yang diharapkan benar-benar mematuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan yang berlaku Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 200 tentang Perbankan Syari’ah.
Secara yuridis bank syari’ah bertanggung jawab kepada banyak pihak (stakeholders), yaitu nasabah penabung, pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai, pemasok, masyarakat, dan lingkungan, sehingga penerapan GCG menjadi suatu kebutuhan bagi bank syari’ah. Penerapan GCG merupakan wujud pertanggungjawaban kepada masyarakat bahwa bahwa bank syari’ah dikelola dengan baik, profesional, dan hati-hati dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya.
Dengan demikian bahwa penerapan prinsip-prinsip GCG dalam sebuah operasioanl perusahaan terutama yang bergerak dalam bidang keuangan seperti bank terutama bank syari’ah sangatlah penting. Karena dalam operasionalnya, pihak bankir dituntut untuk selalu melaksanakan prinsip kehati-hatian bank dalam memberikan jasa dan layanan keuangan kepada masyarakat. Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan harus mampu melakukan penilaian dan penindakan terhadap pelaksanaan GCG bank.
Seiring dengan tuntutan penerapan GCG pada sektor perbankan, maka pada tahun 2006 Bank Indonesia menggagas peraturan yang secara khusus mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan GCG di Bank Umum. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum yang kembali disempurnakan melalui PBI No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/4/PBI/2006, kemudian disempurnakan lagi PBI Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/13/DPbs tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah. Peraturan ini menegaskan bahwa pelaksanaan GCG pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yakni keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).
Dalam pelaksanaan GCG tersebut, diperlukan keberadaaan Komisaris Independen dan Pihak Independen. Keberadaan pihak-pihak independen tersebut, diharapkan dapat mengatasi dampak moral hazard dan menciptakan check and balance, menghindari benturan kepentingan (conflik of interest) dalam pelaksanaan tugasnya serta melindungi kepentingan stakeholders khususnya pemilik dana dan pemegang saham minoritas. Selain itu, PBI ini juga mewajibkan bank untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan GCG pada setiap akhir tahun buku dan paling lambat 5 bulan setelah tahun buku berakhir. Bagi bank yang tidak memenuhi ketentuan dalam PBI ini akan dikenakan sanksi.
Selain itu, pelaksanaan GCG harus mempunyai beberapa perangkat dasar, antara lain: (1) sistem pengendalian intern, (2) manajemen resiko, (3) ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan informasi, (4) sistem akuntansi, (5) mekanisme jaminan kepatuhan syari’ah, (6) audit ekstern. Dari keenam perangkat tersebut pada dasarnya berlaku bagi semua bank baik bank konvensional maupun bank syari’ah. Yang membedakannya adalah bahwa di bank syari’ah perlu adanya perangkat yang dapat menjamin kepatuhan kepada nilai-nilai syari’ah. Hal demikian tidak dijumpai dalam sistem perbankan konvensional.
Dari beberapa uraian diatas, bahwa sebagian besar struktur governance untuk bank konvensional berlaku juga untuk bank syari’ah. Mengenai hal ini kita merujuk kepada hukum tentang perusahaan, bursa efek, dan keuangan. Salah satu isu adalah mengenai peran auditor eksternal. Sebagian menyatakan bahwa auditor eksternal tidak layak melakukan penyeliaan keagamaan. Sebagian lainnya berpendapat bahwa mereka harus melakukannya, karena keterikatan pada syari’ah termasuk dalam nota kesepakatan (Memorandum of Agrement) dan Articel of Association Bank yang harus dijunjung tinggi oleh auditor.
Khusus untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syari’ah oleh bank paling tidak terdapat dua langkah penting yang perlu ditempuh, yaitu:
1. Perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan dari otoritas fatwa dalam hal ini DSN-MUI dalam hal menentukan kehalalan atau kesesuaian produk dan jasa keuangan bank dengan prinsip syari’ah.
2. Perlunya mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau transaksi keuangan bank sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa perbankan. Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul adalah masih minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu fiqh dan syari’ah serta sekaligus memiliki pengetahuan perbankan yang memadai.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, bank dapat mempublikasikan laporan pelaksanaan GCG melalui website bank yang bersangkutan.
Oleh karena itu, maka sangat diperlukan GCG dalam bank syari’ah. Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang baik (GCG) di Bank Syari’ah merupakan bagian tak terpisahkan dari Spirit bank syari’ah tersebut, yang intinya adalah semangat tanggung jawab, kewajiban, keterbukaan dan keadilan melalui pengabdian serta ketundukan kepada Allah SWT dan melalui pemerataan kemampuan, pengetahuan, informasi dan penghargaan. Semangat inilah yang menjadi dasar bagi tata kelola usaha/bisnis dan kode etik dalam bank syari’ah, termasuk dalam memberikan pembiayaan untuk bisnis syari’ah.

TEORI UANG MENURUT IBNU KHALDUN


Ukuran ekonomis terhadap nilai barang dan jasa perlu bagi manusia bila ingin memperdagangkannya pengukuran nilai ini harus memiliki sejumlah kualitas tertentu. Ukuran ini harus diterima oleh semua tender legal, dan penerbitnya harus bebas dari semua pengaruh subjektif.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan negara bukanlah ditentukan dari banyaknya jumlah uang yang ada dan beredar di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan oleh neraca pembayaran yang positif. Bisa saja suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya namun bila hal itu bukan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Sektor produksi yang menjadi motor penggerak pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, menimbulkan permintaan atas faktor-faktor produksi lainnya. Pendapat ini menunjukkan pula, bahwa perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama waktu itu. Negara yang banyak mengekspor berarti mempunyai kemampuan produksi lebih besar dari kebutuhan domestiknya, sekaligus menunjukkan bahwa negara tersebut lebih efisien dalam produksinya.
Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa uang tidak perlu mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang mengandung emas dan perak merupakan jaminan Pemerintah, bahwa ia senilai sepersekian gram emas dan perak. Sekali Pemerintah menetapkan nilainya, maka Pemerintah tidak boleh mengubahnya. Pemerintah wajib menjaga nilai mata uang yang telah dicetaknya, karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas dan perak di dalamnya. Misalnya, Pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp. 10.000 yang setara dengan setengah gram emas. Apabila kemudian Pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp. 10.000 seri baru dan ditetapan nilainya setara dengan seperempat gram emas maka uang akan kehilangan makna standar nilai.
Oleh karena itu, Ibnu Khaldun selain menyarankan digunakannya standar emas atau perak, beliau juga menyarankan konstannya harga emas dan perak tersebut. Harga-harga lain boleh berfluktuasi, tetapi tidak harga emas dan perak. Dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan harga atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Bila lebih banyak makanan dari yang diperlukan di suatu kota, maka harga makanan murah dan sebaliknya.
Bagi Ibnu Khaldun, dua logam mulia emas dan perak, adalah ukuran nilai. Logam-logam ini diterima secara alamiah sebagai uang dimana nilainya tidak dipengaruhi oleh fluktuasi subjektif.
Karena itu, Ibnu Khaldun mendukung penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter. Baginya, pembuatan uang logam hanyalah merupakan sebuah jaminan yang diberikan oleh penguasa bahwa sekeping uang logam mengandung sejumlah emas dan perak tertentu. Percetakannya adalah sebuah kantor religius, dan karenanya tidak tunduk kepada aturan-aturan temporal. Jumlah emas dan perak yang dikandung dalam sekeping koin tidak dapat diubah begitu koin tersebut sudah mulai diterbitkan.
Ibnu Khaldun mendukung standar logam dan harga emas dan perak yang konstan. Jadi, uang logam bukan hanya ukuran nilai tetapi dapat pula digunakan sebagai cadangan nilai.

PEMIKIRAN Prof. H. ABDUL QODRI AZIZY, M.A., Ph.D TENTANG SOLUSI ATAS PROBLEMATIKA UMAT ISLAM DAN KRISIS


Dalam menjalani kehidupan di dunia pasti selalu ada permasalahan yang menjadi problem yang harus dipecahkan atau tantangan yang harus di hadapi dan diselesaikan. Hal ini terjadi dari tingkat pribadi, keluarga, tetangga, organisasi, umat beragama, bangsa dan negara, serta dunia.
Ketika kita berbicara tentang problematika bangsa, maka cakupannya adalah negara, sehingga perbedaan agama tidak menjadi batasan. Artinya, siapapun berhak menjadi warga negara dan berhak hidup di dalamnya yang telah dijamin dengan konstitusi negara walaupun orang tersebut beragama apapun. Ketika kita berbicara tentang problematika dunia, maka cakupannya adalah dunia yang sangat luas ini. Perbedaan ras, bangsa, agama, golongan, suku tidak menjadi batasan. Siapapun berhak mendapat kehidupan dan penghidupan yang layak dan terbebas dari penindasan dan penjajahan. Ketika kita berbicara tentang tetangga atau RT, maka batasannya adalah RT. Orang-orang yang tidak menjadi anggota RT tidak termasuk di dalamnya.
Namun, ketika kita berbicara tentang umat islam, maka batasannya adalah agama islam. Kita yang memeluk agama islam menjadi satu kesatuan yang kokoh di dalamnya yang sama-sama menghadapi problematika. Dalam waktu yang bersamaan, kita ditantang untuk mampu menghadapi dan menyelesaikan problematika. Kita juga harus sadar bahwa ketika kita berbicara tentang umat islam, akan terdapat banyak perbedaan organisasi di dalamnya, namun pengikutnya sama-sama beragama islam. Oleh karena itu, ketika kita menghadapi problematika umat islam, maka kita tidak akan pernah bisa lepas dari probematika intern organisasi yang menjadi bagian dari umat tersebut.
Dalam kerangka seperti inilah kita aka mencoba melihat problematika umat islam. Dalam hal ini problematika yang paling penting untuk dipecahkan dan diselesaikan bersama adalah tentang pendidikan dan ekonomi umat islam. Oleh karena itu, marilah kita singkirkan semua perbedaan diantara kita untuk membangun fondasi umat yang kokoh agar bisa terhindar dari kebodohan dan kemiskinan dengan cara meningkatkan taraf pendidikan dan ekonomi.
Problematika dari umat islam yang sangat kronis tidak lain adalah tentang kemiskinan dan kebodohan. Tingkat ekonomi umat dan pendidikan memang ada hubungannya, sehingga untuk meningkatkan taraf ekonomi adalah dengan meningkatkan taraf pendidikan. Pendidikan sangat diperlukan oleh masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Demikian pula bagi masyarakat yang sejahtera dan taraf ekonominya bagus, maka akan selalu memperhatikan tingkat pendidikan dengan kualitasnya.
Saling mempengaruhi antara pendidikan dan kemajuan ekonomi, ada pula yang negatif dan menjadi problematika bersama umat islam. Contohnya, “sekolah mahal” yang banyak dikeluhkan oleh orang-orang marginal. Yang mampu dan bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang mahal dan mewah hanyalah golongan orang-orang kaya. Dalam waktu bersamaan yang bisa mendapatkan jaminan lapangan pekerjaan yang menjanjikan hanyalah mereka yang bisa menikmati sekolah mahal dan mewah. Hal ini juga terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat sebagai akibat negatif yang lebih jauh, kenyataan ini akan berpengaruh pada pola kehidupan dan kultur masyarakat yang sangat berpotensi pada sistem kapitalisme. Yaitu yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin, tanpa ada pemerataan kekayaan diantara mereka. Padahal, yang seharusnya terjadi yang kaya agar tetap bisa mempertahankan kekayaannya dengan cara yang baik dan benar serta mau berbagi dengan sesamanya dan yang miskin agar mampu mengubah pola kehidupannya dan mampu mengubah dirinya untuk menjadi kaya.
Yang paling penting adalah bahwa umat islam bersedia saling belajar dan megajari. Bagi yang merasa belum bisa dalam masalah pendidikan dan ekonomi harus mau belajar dengan mereka yang sudah lebih bisa dan mempunyai banyak pengalaman. Demikian pula bagi yang sudah lebih bisa dan mempunyai banyak pengalaman harus mau mengajari mereka yang belum bisa dan berpengalaman tentang pendidikan dan ekonomi. Disinilah konsep ukhuwwah dalam mempraktikkan ajaran al-ta’awun ala al-birr (saling membantu dalam kebajikan), bukan hanya sekedar wacana saja.
Jika berpikir tentang sumber daya manusia (SDM) dan jumlah manusia dijadikan sebagai modal dasar dalam aktifitas ekonomi, maka sebenarnya umat islam semestinya bisa menjadi sumber daya manusia yang besar dan kuat. Satu hal yang belum bisa digarap secara serius adalah pemberdayaan umat islam secara komprehensif. Seperti contoh dari sisi perekonomian, misalnya: umat islam Indonesia yang jumlhanya sangat banyak bahkan terbesar di dunia diposisikan sebagai konsumen. SDM yang tersebar di berbagai perusahaan, instansi dan oganisasi semestinya dapat dikelola dengan baik dan profesional. Dengan pengelolaan dan manajemen yang baik dan benar, maka kita sebenarnya mampu menciptakan self suffiency.
Sukses menggunakan dalil ajaran islam (justifikasi agama) untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat dan dalam waktu yang bersamaan sejauh mana pula manajemen pimpinannya. Jika hal ini bisa terselesaikan, maka problematika kemiskinan dan kebodohan akan bisa teratasi sekikit demi sedikit.
Tantangan era globalisasi yang berkonsekuensi pasar bebas sudah tampak dan merambah di depan kita. Hal ini juga tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan cerdas dan sukses. Jadi, kebodohan dan kemiskinan umat bisa dikatakan sebagai amalan yang keliru dan pemahaman yang keliru pula terhadap ajaran-ajaran agama islam. Anggapan yang ada selama ini bahwa ajaran islam menghambat kemajuan pendidikan dan aktivitas ekonomi umat, harus segera diluruskan bahwa anggapan tersebut ternyata salah besar. Justru ajaran islam selalu mengajarkan umat untuk menjadi umat yang kaya dan bisa berbagi dengan sesamanya.
Semangat ajaran islam adalah membangun umat yang kaya. Tetapi juga ada problematikanya, seperti kesalahan dalam mengamalkan ajaran islam. Kesalahan ini terutama disebabkan oleh kesalahan pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran agama islam. Ajaran dalam praktik, yang biasanya diyakini oleh mayoritas umat islam, dan terlebih lagi bagi mereka yang taat beragama, tidak menyentuk tuntutan kemajuan ekonomi di dunia. Yaitu, ajaran-ajaran yang pada intinya menjauh dari hiruk pikuk keduniaan dan yang memfokuskan pada keakhiratan berupa ibadah murni yang justru mendapatkan penekanan oleh para mubaligh dan uztadz. Terjadi banyak kontradiktif: antara ideal ajaran islam dengan realita umatnya, antara istilah ajaran dengan pemaknaannya dan praktiknya, antara sasaran inti dari ajaran dengan pemahaman yang kemudian menghambat kemajuan keduniaan, dan lain sebagainya. Intinya adalah terjadi kontradiktif antara semangat ajaran islam yang menyuruh umatnya jaya keduniaan dengan realita umat yang terbelakang dalam berbagai aspek.
Dengan semangat ajaran islam yang mengajarkan umat agar menjadi umat yang kaya, makmur, dan sejahtera. Jika semua umat islam mau mengamalkan ajaran tersebut, maka umat islam akan terbebas dari kemiskinan dan kebodohan dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dan dengan semangat etos kerja yang tinggi untuk menjadi umat yang kaya, maka umat islam juga dapat menjadi roda dan penggerak perekonomian bangsa dan juga bisa membantu negara dalam menuntaskan semua krisis yang melanda negeri ini termasuk krisis finansial.

DOKTRIN AGAMA-AGAMA TERHADAP BUNGA BANK DAN PERBANKAN SYARI’AH SEBAGAI SOLUSI PILIHANNYA


Istilah bank berasal dari bahasa Italia “Banco” yang berarti bangku. Bangku inilah yang digunakan oleh Bankir untuk melayni para nasabahnya kegiatan operasioanal dan transaksi keuangannya. Telah dijelaskan dalam UU Nomor 21 tahun 2008 pasal 1 (2) bahwa, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Bank sebagai lembaga intermedisai yang bertugas menghungkan antara pihak yang surplus dana (SSU – Surplus Spending Unit) atau pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang defisif dana (DSU – Defisit Spending Unit) atau pihak yang kekurangan dana, sehingga terjadi saling berkesinambungan antara kedua belah pihak yang saling membutuhkan.
Akan tetapi dalam praktiknya dalam dunia perbankan (konvensional), tidak pernah luput dari yang namanya tambahan dalam bertransaksi untuk menjalankan operasionalnya. Tambahan tersebut biasa disebut dengan nama “bunga”, dan ternyata masalah bunga bank tersebut masih dipermasalahkan dan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat luas. Bunga bank banyak membawa masalah dan kontroversi karena dinilai lebih banyak madhorotnya dari pada manfaatnya dan juga membawa dampak negatif baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi sosial kemasyarakatan.
Dampak negatif bunga bank dari sisi ekonomi yaitu bisa berdampak inflatoir yang diakibatkan bunga sebagai biaya utang. Hal tersebut disebabkan karena salah satu eleman dari penentuan harga adalah bunga. Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak negatif lainnya adalah bahwa utang dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, maka akan menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila bunga atas uang tersebut dibungakan. Contoh yang paling nyata dan konkret yang terjadi di dunia ini adalah utang negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) kepada negara-negara maju dan kaya. Meskipun disebut pinjaman lunak, dengan suku bunga rendah, pada akhirnya negara-negara berkembang harus berutang lagi untuk membayar bunga dan pokoknya. Akibatnya, terjadilah utang yang terus-menerus. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya krisis dan kemiskinan yang menimpa lebih dari separoh masyarakat dunia.
Akibat dari damapk negatif yang disebabkan oleh bunga dalam perbankan yaitu bank bisa mengalami “negative spread”, yang terjadi karena ketidakseimbangan antara bunga pinjaman dengan bunga simpanan. Bunga pinjaman terlalu tinggi sehingga banyak debitor atau nasabah peminjam tidak mampu lagi mengembalikan dana pinjaman tersebut karena tingginya bunga pinjaman dan akhirnya terjadi kredit macet sehingga bank akan mengalami koleps atau kerugian. Akan lebih fatal lagi jika kreditur atau nasabah penyimpan melakukan “rush” atau penarikan dana simpanan secara besar-besaran, sehingga mengharuskan kepada bank untuk menalanginya dengan modal inti (sumber pendanaan bank dari internal). Sumber dana bank bisa habis dan sudah tidak BEP (break event point) lagi sehingga bank tidak bisa menjalankan operasionalnya lagi dan memaksa bank harus gulung tikar atau digabungkan (merger/konsolidasi/akuisisi) dengan bank lain.
Sedangkan dalam sisi sosial kemasyarakatan, bahwa bunga sangat berpotensi untuk membawa ketidakadilan. Karena bunga bersifat relatif tetap dan pasti serta tidak terlalu beresiko dan berasumsi harus selalu untung tanpa melihat dan mempertimbangkan keadaan apakah debitur atau nasabah peminjam akan mengalami untung atau rugi. Selain itu juga jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan meningkat. Dengan bunga ini juga bisa dikatakan bahwa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini jelas sangat tidak adil dan membawa dampak negatif yang besar dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.
Eksistensi bunga bank juga diragukan keabsahannya oleh semua agama-agama termasuk islam. Agama-agama dan kalangan-kalangan tersebut antara lain; agama hindu, kristen, yahudi, dan islam.
Di India kuno yang mayoritas agamanya hindu, hukum berdasarkan kitab weda, kitab suci agama hindu mengutuk riba sebagai dosa besar dan melarang operasi bunga.
Dalam yahudi, orang-orang yahudi dilarang mempraktikkan pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (perjanjian lama) maupun undang-undang Talmud (hukum lisan yang melengkapi kitab tertulis untuk kaum Yahudi Ortodoks) antara lain;
Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 5 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bebankan bunga uang terhadapnya.”
Kitab Deuteronomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apapun yang dapat dibungakan.”
Kitab Levicitus (Imamat) pasal 25 ayat 36-37 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut kepada Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup diantaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”
Bunga di kalangan Kristen juga membawa permasalahan. Terdapat berbagai perbedaan pandangan terhadap bunga dalam kristen. Adapun beberapa pandangan di kalangan pemuka agama kristen tentang bunga dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para Pendeta awal kristen (abad I-XII) yang jelas mengharamkan bunga, pandangan para Sarjana kristen (abad XII-XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan dan pandangan para reformis kristen (abad XVI-1836) yang menyebabkan agama kristen menghalalkan bunga.
Pandangan para Pendeta awal kristen mengharamkan bunga karena merujuk kepada kitab perjanjian lama yang juga diimani oleh orang-orang kristen. Kitab perjanjian lama tersebut antara lain:
St. Basil (329-379) menganggap mereka yang memakan bungan sebagai orang yang tidak berperikemanusiaan. Baginya mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dari kekayaan air mata dan kesusahan orang miskin.
St. Ambrose, mengecam bahwa pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (renternir).
Selain itu, larangan praktik bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (canon), yaitu sebagai berikut;
Council of Elvira (Spanyol, tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mempraktikkan pengambilan bunga. Barang siapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja geraja mempraktikkan pengambilan bunga.
Pada abad XII-XIV, dengan pandangan para Sarjana kristen. Bahwa pada abad tersebut sedang terjadi perkembangan yang pesat di bidang perekonomian dan perdagangan sehingga uang dan kredit menjadi unsur yang penting di masyarakat. Abad XII juga sedang digulirkannya pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedangang. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk dan proses tersebut mendorong terwujudanya suku bunga pasar secara meluas.
Mereka dianggap telah membuat gebrakan baru tentang pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangan usury adalah bunga yang berlebihan dan tidak diperbolehkan.
Sedangkan pandangan para Reformis kristen bahwa bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk kegiatan usaha yang produktif. Selain itu juga menurut mereka, bahwa menjual uang dengan uang seperti perdagangan biasa. Karenanya, tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.
Agama islam di Indonesia juga mempunyai masalah tentang perdebatan bunga bank, banyak fatwa-fatwa dari lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan yang memberi pandangan terhadap kontroversial bunga bank. Lembaga itu antara lain Lajnah Bahsul Masa’il Nahdlatul ‘Ulama’ dan Majelis Tarjih Muhammadiyah, yang keduanya sebagai ormas besar di Indonesia.
Lajnah Bahsul Masa’il Nahldatul ‘Ulama’ memberikan pendapat mengenai bank dan pembungaan uang. Lajnah juga memutuskan masalah tersebut melalui beberapa kali sidang. Menurut lajnah, hukum bank dan hukum bunganya sama dengan hukum gadai (rahn). Terdapat tida pendapat Ulama tentang masalah bunga ini yaitu halal, haram, dan syubhat. Pertama, Halal karena tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat dan tidak mempersamakan dengan riba serta digunakan untuk kegiatan produktif dan juga boleh dipungut sebab ada kebutuhan yang kuat. Bank juga harus menetapkan tarif bunganya terlebih dahulu secara umum. Kedua, Haram karena utang yang dipungut rente dan mempersamakan dengan riba, digunakan untuk konsumtif. Dan ketiga, syubhat karena tidak jelas penggunaannya dan karena para ahli hukum berselisih pendapat tentang bunga tersebut. Meskipun ada banyak perbedaan, Lajnah memutuskan bahwa pilihan yang lebih berhati-hati adalah pada pendapat kedua, yaitu bahwa bunga bank adalah haram. Karenanya, Lajnah memandang perlu mencari jalan keluar yaitu dengan membentuk sistem Lembaga Keuangan dan Perbankan Syari’ah yang prinsip-prinsip operasinalnya tanpa menggunakan bunga.
Majelis Tarjih Muhammadiyah juga memberikan pendapat mengenai bunga bank. Bahwa bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku termasuk perkara musytabihat (dianggap meragukan). Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut, PP Muhammadiyah disarankan untuk membentuk Lembaga Keuangan dan Perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.
Akan tetapi tidak perlu khawatir lagi, karena kini telah hadir sistem perbankan syari’ah yang mampu memberi solusi atas keresahan yang terjadi di masyarakat tentang bunga. Bank syari’ah menjalankan prinsip-prinsip operasioanlnya tanpa bunga dan tahan banting terhadap gocangan krisis ekonomi tahun 1998 yang diawali oleh berdirinya Bank Muamalah Indonesia (BMI) tahun 1991 dan mulai beroperasi tahun 1992. Bank Muamalah Indonesia lolos dari goncangan krisis 1998 karena bank tersebut menggunakan prinsip operasionalnya tanpa bunga dan menggunakan sistem bagi hasil. Berarti tidak menggunakan BI rate (acuan suku bunga) dan sehingga tidak terkena dampak dan pengaruh apapun termasuk laju inflasi. Bank syari’ah juga merupakan salah satu pilar penopang perekonomian negara dan sebagai penggerak sektor riil, yang akhir-akhir ini menjadi solusi dan pilihan bagi banyak masyarakat baik islam ataupun non-islam dalam bertransaksi keuangan secara syar’i / islami dan Insya Allah aman dan selamat dunia akhirat.
Sebagai salah satu pilar penopang perekonomian negara, bank syari’ah juga mempunyai berbagai fungsi yaitu berfungsi sebagai tamwil dan mal. Sebagai tamwil, bank syari’ah sebagai lembaga komersial yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan antara lain sebagai manajer investasi, investor, dan penyedia jasa-jasa layanan bank. Sebagai Manajer investasi, berarti bank melakukan fungsinya sebagai penghimpun dana (funding) dari masyarakat atau nasabah dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro dengan akad wadi’ah dan mudhorobah yang digunakan sebagai salah satu sumber dana bank syari’ah. Sebagai Investor, bank syari’ah melakukan pembiayaan untuk membiayai berbagai sektor, akad-akad yang digunakan antara lain mudhorobah, musyarokah, ijarah, bai’ murabahah, bai’ salam, bai’ istishna’. Sebagai penyedia jasa-jasa layanan, bank syari’ah dalam abad modern ini telah hadir memberikan banyak kemudahan nasabah dalam bertransaksi, antara lain seperti wakalah, hawalah, kafalah, rahn, sharf, kliring, inkaso, transfer, jasa ATM bersama dll. Sementara dalam fungsinya sebagai mal, bahwa bank syari’ah adalah lembaga non komersial, antara lain sebagai Lembaga Amil Zakat, Infaq, Shodaqoh (LAZIS) dan memberikan bantuan kepada 8 asnaf. Akad yang biasanya digunakan adalah qardul hasan (kebajikan). Oleh karenya, terdapat selokan baru bagi bank syari’ah yaitu “bank syari’ah bukan hanya sekedar bank saja” karena bisa menjelma menjadi berbagi lembaga lain seperti LAZIS, pegadaian, dll.
Maka dari pada itu, marilah kita sebagai umat islam untuk segera hijrah dari bank konvensional menuju ke bank syari’ah yang lebih aman dan terjamin. Alangkah malunya kita terhadap Allah dan Rasulullah, ketika saat ini sudah banyak berkembang Lembga Keuangan Syari’ah seperti Bank Umum Syari’ah (BUS), Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah (BPRS), Baitul Mal wat Tamwil (BMT) dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kalau kita masih belum membuka hati untuk bertanggung jawab terhadap ajaran agama kita yaitu dengan bertransaksi dengan lembaga tersebut.

AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH, AKAD PERBANKAN SYARI’AH UNTUK OPTIMALISASI SEKTOR RIIL


KATA PENGANTAR

Puji syukur panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat, hidayah, dan taufiknya, penulis dapat menyelesaikan penulisan karya tulis ilmiah ini dengan judul “akad pembiayaan mudharabah, akad perbankan syari’ah untuk optimalisasi sektor riil” dengan baik.
Sholawat dan salam yang senantiasa kita berikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nanti syafaatnya di hari kiamat. Amin.
Karya tulis ilmiah ini tidak akan pernah selesai tanpa adanya dukungan sahabat/sahabati baik di lingkungan kampus Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan di lingkungan rumah tempat tinggal saya. Semoga jasa baik kalian semua mendapat balasan dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari harapan dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat saya harapkan untuk lebih bisa memperbaiki dan menyempurnakan karya tulis ilmiah ini nantinya. Terutama dari pembaca karya tulis ilmiah ini, praktisi dan akademisi ekonomi islam dan perbankan syari’ah, dan juga mahasiswa yang belajar di bidang ekonomi islam dan perbankan syari’ah.
Semoga buku ini dapat bermanfaat. Amin.

Kendal, 26 November 2010
Penulis,

Iqbal Sarayulus Nuh
(Mahasiswa angkatan 2009 Program D3 Perbankan Syari’ah
Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang)

MOTTO

 Kehidupan yang sebenarnya adalah sekarang dan disini, bukan kemarin dan disana juga bukan esok dan disitu. Kemarin hanyalah sebuah kenangan dan esok hanyalah sebuah harapan. Maka lakukanlah yang terbaik sekarang dan disini untuk harapan hari esok yang lebih baik lagi.
 Keberhasilan berasal dari 99% kegagalan.
 Buku adalah jendela dunia, siapa malas takkakn juara kelas.
 Hal yang sepele menciptakan kesempurnaan, tetapi kesempurnaan bukanlah hal yang sepele.
 Anda mungkin kecewa jika anda gagal, tetapi celakalah jika anda tidak mencobanya.

DAFTAR ISI

Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Motto iii
Daftar Isi iv
Bab I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan Penulisan 1
C. Pembatasan Masalah 2
D. Sistematika Penulisan 2
Bab II Pembahasan 3
A. Pengertian Bank Syari’ah 3
B. Sejarah Bank syari’ah 3
C. Mudharabah 4
1. Pengertian mudharabah 4
2. Pembiayaan Bagi Hasil Mudharabah 6
3. Tujuan Pembiayaan Mudharabah 9
4. Perananan Mudharabah dalam Optimalisasi Sektor Riil 12
D. Keseimbangan Sektor Riil (Pasar Barang) 16
1. Dalam Ekonomi Konvensional 16
2. Dalam Ekonomi Islam. 16
Bab III Penutup 17
A. Simpulan 17
B. Saran. 17
Daftar Pustaka
Lampiran
Biodata Penulis
Foto

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbankan syariah mampu membuat dinamis sektor riil dan memberikan warna baru dalam sistem perekonomian Indonesia. Hal itu disebabkan dalam perbankan syariah terdapat ‘step wise process’ atau proses bertahap sebagai alternatif untuk mengganti sistem bunga pada perbankan konvensional,” Penggunaan sistem bunga merupakan salah satu permasalahan bagi dunia perbankan konvensional saat ini. Sistem perekonomian dengan sistem bunga ini perlu diganti atau dicari solusinya. Sistem bunga dapat memengaruhi pembentukan sistem ekonomi makro, salah satunya terjadi pelemahan pada sektor riil. Dalama hal ini, perbankan syariah dapat berperan sebagai penyeimbang sistem perekonomian dari sektor riil dan moneter.
Namun demikian, perkembangan perbankan syariah di Indonesia saat ini masih belum otpimal jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia,” Hal itu disebabkan kebijakan pemerintah belum terlalu banyak memberikan dukungan bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
Jika di negara lain pemerintah banyak memberikan dukungan terhadap perkembangan perbankan syariah, di Indonesia tidak begitu. Selain itu, sumber daya manusia (SDM) yang paham mengenai perbankan syariah belum banyak. Kebanyakan pegawai berasal dari bank konvensional yang diberikan pelatihan selama dua atau tiga pekan mengenai perbankan syariah kemudian diberikan kepercayaan memegang bank tersebut.
Padahal, tidak sesederhana itu. SDM seharusnya juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan, karena dalam perbankan syariah diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai hal itu.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan karya tulis ilmiah ini anatara lain untuk:
1. Mengetahui tentang sebagian perbankan syari’ah.
2. Mengetahui tentang sejarah bank syari’ah.
3. Mengetahui salah satu akad di bank syari’ah yang dapat berperan dalam optimalisasi sektor riil.
4. Mengetahui tentang keseimbangan sektor riil (pasar barang) dalam pandangan ekonomi konvensional dan ekonomi islam.

C. Pembatasan Masalah
1. Apa pengertian bank syari’ah?
2. Kapan bank syari’ah mulai didirikan dan bagaimana sejarahnya?
3. Akad apa dalam perbankan syari’ah yang dapat berperan dalam optimalisasi sektor riil?
4. Bagaimana keseimbangan sektor riil dalam ekonomi konvensional dan ekonomi islam?

D. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisn karya tulis ilmiah ini terdiri atas, halaman judul, kata pengantar, motto, dan daftar isi.
Bab I Pendahuluan berisi tentang, latar belakang, tujuan penulisan, pembatasan masalah, dan sistematika penulisan.
Bab II Pembahasan berisi tentang, pengertian bank syari’ah, sejarah bank syari’ah, akad mudharabah yang terdiri atas pengertian mudharabah, pembiayaan bagi hasil mudharabah, tujuan pembiayaan mudharabah, dan perananan mudharabah dalam optimalisasi sektor riil. Kemudian keseimbangan sektor riil (pasar barang) dalam ekonomi konvensional dan ekonomi islam.
Bab III Penutup, berisi tentang simpulan dan saran.
Dilanjutkan daftar pustaka dan lampiran-lampiran penulisan karya tulis ilmiah ini.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Bank Syar’iah
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan bank syari’ah adalah bank yang prinsip-prinsip operasionalisasinya sesuai syari’ah yang berdasarkan al-qur’an dan al-hadits dan terdapat Dewan Pengawas Syari’ah dalam struktur organisasinya dan menggunakan sistem bagi hasil.
Perbankan syari’ah memiliki akar pada ekonomi syari’ah nilai-nilai ilahiyah dengan acuan utama al-qur’an dan al-hadits. Terdapat nilai-nilai utama dalam perbankan syari’ah dilihat dari dua perspektif, yaitu makro dan mikro. Perspektif makro yaitu: keadilan, maslahah, anti riba, anti judi, symmetric information, nilai dasar uang sebagai alat tukar bukan komoditas. Sedangkan perspektif mikro yaitu: shiddiq, amanah, fathonah, tabligh, dan istiqomah.
Dimensi keberhasilan berorintasi kepada profit and falaah oriented yaitu untuk kebaikan dan kemaslahatan dunia dan akhirat, selain itu juga sangat memperhatikan kebersihan sumber, kebenaran proses dan kemanfaatan hasil. Sementara itu hubungan dengan nasabah dalam bentuk hubungan kemitraan.

B. Sejarah Bank Syari’ah
Perbankan syari’ah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam. Karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El-Najjar, mengambil bentuk sebuah simpanan yang berbasis profit sharing (bagi hasil) di Kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967 dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini yang tidak memnungut maupun menerima bunga. Sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Islamic Devolopment Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konfrensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar Pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di Negara-negara anggotany. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk Negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syari’ah islam.
Di belahan Negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Di Asia-Pasifik, Philipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Saving Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
Di Indonesia pelopor perbankan syari’ah adalah Bank Muamalat Indonesia yang berdiri tahun 1992, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim.

C. Mudharabah
1. Pengertian Mudharabah
Mudharabah adalah suatu perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan dana, dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan ratio laba yang telah disepakati bersama secara advance. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola, seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kerlalaian sipengelola, si pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.
Dasar Hukum:
“Dan sebagian dari mereka orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT” (Q.S. Al-Muzamil: 198)
Mudharabah atau penanaman modal disini artinya adalah menyerahkan modal uang kepada orang yang berniaga sehingga ia mendapatkan prosentase keuntungan. Bentuk usaha ini melibatkan dua pihak: pihak yang memiliki modal, namun tidak bisa berbisnis. Dan kedua, pihak yang pandai berbisnis namun tidak memiliki modal. Melalui usaha ini, keduanya saling melengkapi.
Kontrak mudharabah dibentuk secara bebas antara kedua orang atau lebih dengan tujuan mencari keuntungan yang kemudian untuk dibagikan antara pemilik modal dengan pengelola modal, berdasarkan kesepakatan mutualilitas dan secara fair dan sama. Mitra yang aktif (pengelola) secara bebas melakukan perdagangan dengan modal yang dipercayakan kepadanya dengan jalan yang ia anggap terbaik, serta dapat meningkatkan hasil dari bisnis sesuai dengan yang tersebut di dalam kontrak.
Seperti halnya bentuk-bentuk usaha yang lain, bisnis mudharabah ini juga mempunyai beberapa unsure yang harus ada guna untuk menjalin kerjasama yang baik dan sah. Mengenai unsure-unsur yang harus ada dalam bisnis mudharabah ini adalah:
a. Pelaku (pemilik modal maupun pengelola modal)
Dalam akad mudharabah harus ada dua pelaku, pihak pertama bertindak sebagai pemilik modal (shhib al-mal), sedangkan pihak kedua sebagai pelaksana usaha (mudharib atau ‘amil).
b. Objek Mudharabah (modal dan kerja)
Merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai objek mudharabah, sedangkan pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai objek mudharabah. Modal yang diserahkan dapat berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya, sedangkan kerja yang diserahkan bias berbentuk keahlian, keterampilan, selling skill, management skill, dll.
c.Persetujuan kedua belah pihak (Ijab-Qabul)
Ijab-qabul merupakan konsekuensi dari prinsip an-taraddin minkum. Disini kedua belah pihak harus secara rela bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah.
d. Nisbah Keuntungan
Nisbah merupakan rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib endapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapat imbalan atas penyertaan modalnya. Nishab keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

2. Pembiayaan Bagi Hasil Mudharabah
Mudharabah merupakan salah satu bentuk perkongsian, yang mana salah satu pihak disebut pemilik modal (shabul mal) yang menyediakan sejumlah uang tertentu dan bersifat pasif, sementara pihak lain disebut pengelola dana (mudharib) yaitu orang yang menjalankan usaha, kepengrusan atau jasa dengan tujuan memperoleh keuntungan. Akan tetapi apabila terjadi kerugian dalam menjalankan usaha, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik dana, sementara pengelola dana tidak mendapat apa-apa dari jasa yang dilakukan.
Pada hakikatnya pengelola dana diberi amanah dan mesti bertindak atas dasar kepercayaan dan tanggung jawab. Kemudian ia diharapkan untuk mengurus dan mengelola dana secara baik agar dapat menghasilkan laba dan untung yang maksimum dan baik tanpa mengabaiakan nilai-nilai islam. Disamping itu, sistem mudharabah dapat pula dilakukan oleh beberapa pengelola dana dan pengusaha sekaligus.
Firman Allah:
Artinya:
“dan yang lainnya orang-orang musafir di muka bumi untuk mencari rezeki dari limpahan kurnia Allah, dan yang lainnya orang-orang yang berjuang pada jalan Allah (membela agama-Nya)” (Q.S. Al-Muzammil [73]: 20).
Mudharabah sangat penting dan dapat diamalkan untuk menjaga kemaslahatan umat. Pemilik dana yang mempunyai banyak dana atau uang dapat menginvestasikan kepada pihak lain yang dipercaya untuk mengelola dana tersebut. Demikian juga pengusaha yang ingin melakukan usahanya tetapi tidak mempunyai kecukupan dana, maka dapat meminta bantuan dana dari pihak yang mempunyai banyak dana. Hal ini sangat bermanfaat karena dapat saling tolong-menolong dan dapat menggerakkan sektor ekonomi riil yaitu menciptakan lapangan pekerjaan dan dapat menyerap tenaga kerja untuk mengurangi pengangguran. Selain itu juga untuk meminimalisisir inflasi yang disebabkan ketidakseimbangan antara sektor finansial dengan sektor riil.
Meskipun sistem mudharabah telah dilaksanakan oleh perbankan syari’ah, namun menurut Adiwarman sistem ini ternyata kurang diminati dan bank mengalami kerugian. Pemikiran yang sama juga dipaparkan oleh Surtahman Kastin Hasan dan Abdul Ghafar Ismail, mekanisme mudharabah dianggap istimewa, adil, tetapi kerdil. Persoalannya terdapat pada aspek pembiayaan, dimana sebagian bank mengalami kerugian, karena oleh beberapa hal, diantaranya:
 Sejumlah deposit untuk jangka pendek, sulit untuk dilaksanakan dalam jangka waktu yang lama.
 Bank perlu berhati-hati apabila terjadi kerugian.
 Bank harus memastikan bahwa usaha yang dilakukan dapat berkembang dengan baik.
Setiap persoalan pasti mempunyai kesan positif dan negatif, adapun kesan positif dalam aplikasi sistem mudharabah adalah:
– bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat usaha nasabah meningkat.
– Bank tidak mesti membayar keuntungan mudharabah kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami kerugian atau negative spread.
– Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halah, aman, dan menguntungkan karena keuntungannya yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
– Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan kesan negatif atau resikonya adalah:
– modal yang digunakan oleh nasabah tidak seperti yang disebutkan dalam kontrak.
– Lalai dan kesalahan yang disengaja.
– Nasabah tidak jujur, dimana berapa jumlah keuntungan tidak dijelaskan dan tidak merasa dibebani.
Meskipun terdapat kesan positif dan kesan negatif dalam aplikasi sistem mudharabah, namun perlu dipahami bahwa sistem mudharabah ini dapat membangun sektor ekonomi riil yaitu lapangan pekerjaan. Karena sistem ini juga dapat membangkitkan semangat masyarakat untuk bergerak dan menciptakan usaha yang menghasilkan keuntungan dan menghindari bagi rugi.

3. Tujuan Pembiayaan Mudharabah
Pembiayaan mudharabah dapat dipergunakan oleh bank untuk hal-hal yang sangat beragam sekali, diantaranya:
 Investasi dalam suatu proyek yang sepenuhnya dimiliki oleh suatu badan usaha tertentu.
 Membiayai nasabah yang telah diketahui kredibilitas dan bonafiditasnya serta diharapkan usaha yang dikelolanya cukup feasible dan profitable.
 Untuk mengoptimalisasikan sektor riil.

a. Aspek Teknis
Dalam melaksanakan pembiayaan mudharabah, langkah-langkah yang harus diperhatikan dapat dibedakan ke dalam pembiayaan badan usaha dan pembiayaan proyek.
1.) Pembiayaan Badan Usaha
 Identifikasi proyek atau bisnis yang akan dibiayai.
 Melakukan feasibility study dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana profitability dan kelayakan usaha.
 Melakukan persiapan-persiapan dari segi legal termasuk MOU untuk memungkinkan perusahaan segera didaftarkan.
 Menunjuk anggota-anggota direksi yang akan mengelola jalannya perusahaan.
2.) Pembiayaan Proyek/Kontrak
 Pembiayaan usaha atau kontrak yang timbul manakala nasabah membutuhkan dana di muka untuk modal kerja proyek yang telah didapatnya.
 Keberhasilan pembiayaan ini sangat tergantung kepada kinerja nasabah dalam menjalankan usaha dengan kontrak dan kemampuannya untuk membayar tepat pada waktunya.
 Melakukan analisa kredit dan evaluasi terhadap proposal yang diajukan.
 Menerbitkan offering letter manakala proposal telah disetujui dan diutarakan pula di dalamnya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh nasabah dalam rangka mendapatkan fasilitas pembiayaan.

b. Syarat-syarat Permohonan Pembiayaan.
Syarat-syarat Kelayakan
1.) Nasabah harus memiliki status kelayakan hukum untuk melakukan kontrak.
a.) Berumur minimum 21 tahun dan maksimum 55 tahun
b.) Berakal sehat
2.) Kemampuan membayar
a.) Dari segi usaha, kemampuan untuk melakukan pembayaran sangat tergantung kepada factor-faktor yang mempengaruhi volume penjualan, harga jual, biaya dan pengeluaran. Hal itu semua tergantung kepada kualitas produk dan layanan, efektivitas tenaga kerja, harga dan tersedianya bahan baku serta kualitas manajemen.
b.) Mengingat kemampuan membayar merupakan pendapatan dari hasil usaha yang didapati nasabah, bank harus sampai kepada suatu keyakinan bahwa berdasarkan usaha tersebut nasabah dapat memenuhi kewajiban finansialnya.
c.) Integritas nasabah harus memuaskan dan dapat dibuktikan serta tidak terdapat perbedaan dengan hasil bank checking BI serta pengalaman masa silam yang bersangkutan.

c. Margin Pembiayaan
1.) Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank harus ditetapkan sebelum penandatanganan pembiayaan. Nisbah dapat disepakati seperti 60:40, 65:35, dan berapa saja sesuai kesepakatan.
2.) Bank dalam menentukan berapa nisbah bagi hasil yang akan diterimanya hendaklah memperhitungkan besar biaya dana dan baiaya operasional bank lainnya.
3.) Dalam menentukan jumlah keuntungan yang akan dibagikan seandainya perjanjian merupakan kerja sama murni dalam bentuk proyek, maka hendaklah memperhitungkan keuntungan sebelum dikenai pajak. Seandainya nasabah merupakan suatu PT, maka kebijaksanaan perusahaan dalam membagikan deviden hendaklah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan.

d. Agunan
1.) Secara prinsip dalam konsep mudharabah tidak ada jaminan yang diambil sebagai agunan.
2.) Jaminan dapat diambil untuk menjaga agar nasabah benar-benar melaksanakan usaha dengan baik. Jaminan baru dapat dicairkan setelah terbukti bahwa nasabah benar-benar telah menyalahi persetujuan yang menjadi sebab utama kerugian.

4. Peran Mudharabah Dalam Optimalisasi Sektor Riil
Salah satu dari produk pembiayaan bank syari’ah terdapat akad mudharabah atau bagi hasil. Tetapi, mudharabah bukanlah produk yang populer di Bank Syariah. Padahal, mudharabah (dan juga musyarakah) adalah produk utama di Bank Syariah. Justru murabahah yang kini populer dan mendominasi sebagian besar produk pembiayaan pada Bank Syariah.
Timbulnya masalah diatas kalau kita kaji lebih dalam, sesungguhnya bersumber dari dua permasalahan utama, yaitu moral hazard dan adverse selection. Moral hazard adalah tidak diindahkannya masalah moral dan etika dalam berbisnis, baik dilakukan oleh pengusaha maupun mungkin juga dilakukan oleh Bank Syariah itu sendiri. Pengusaha sering membuat project proposal yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, dan Bank Syariah misalnya menuntut bagi hasil yang sangat tinggi tanpa mempertimbangkan sisi keadilan bagi pengusaha. Moral hazard sebenarnya merupakan cerita lama dari permasalahan yang sering timbul dalam pembiayaan di dunia perbankan. Masalah ini bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan, kalau ada niatan dan perilaku yang dilandasi oleh kejujuran dan tanggung jawab diantara kedua belah pihak.
Masalah kedua adalah adverse selection. Adverse Selection adalah masalah ketidakseimbangan informasi yang dilakukan oleh salah satu pihak, yang menyebabkan pihak lain tidak mengetahui kondisi yang sebenarnya terhadap suatu usaha. Sehingga pilihan yang ditetapkan hanya menguntungkan satu pihak saja, dan merugikan pihak yang lain. Masalah ini sebenarnya bisa dipecahkan dengan adanya pihak independen yang amanah dan mampu memberikan gambaran nyata terhadap usaha yang akan dijalankan. Pihak tersebut mengetahui gambaran yang nyata dan jelas terhadap usaha yang akan dijalankan, dan memberikan informasi yang tepat baik kepada pengusaha maupun Bank Syariah. Kedua masalah tersebutlah yang menyebabkan mengapa mudharabah bukanlah produk yang populer saat ini di Bank Syariah.
Dari sudut ekonomi, sebenarnya ada tiga pihak jenis perilaku pihak terhadap dunia bisnis dan usaha, yaitu:
Pertama adalah risk loving (sangat menyukai resiko usaha). Perilaku ini menyebabkan semakin tinggi resiko, maka semakin tinggi pula kepuasan yang diterimanya. Sehingga jika pendapatan yang diterima semakin kecil pun tidak menjadi persoalan bagi pihak tersebut. Perilaku ini lebih cocok dialamatkan pada penjudi, karena sangat menyukai taruhan yang beresiko tinggi.
Perilaku kedua adalah risk neutrally (netral terhadap resiko). Pihak ini bersikap konstan dan netral terhadap resiko, sehingga semakin tinggi resiko usaha yang terjadi, bukan masalah bagi pihak tersebut selama pendapatan yang diterimanya konstan dan tetap. Bank konvensional memiliki perilaku seperti ini, karena apa pun yang terjadi, pendapatan yang diterima dari pembiayaan usaha adalah tetap, yaitu sejumlah bunga yang diterimanya.
Perilaku terakhir adalah risk aversion (tidak menyukai resiko). Perilaku ini menyebabkan suatu pihak bersikap menghindari terhadap resiko usaha, sehingga semakin tinggi resiko suatu usaha, maka dibutuhkan tambahan pendapatan yang lebih tinggi lagi sebagai kompensasi dari pilihan yang diambil terhadap resiko usaha yang tinggi. Perilaku inilah yang lebih dekat dan sesuai dengan pandangan Islam. Perilaku ini menyebabkan suatu pihak membutuhkan pihak lain untuk berbagi resiko usaha yang ia lakukan. Prinsip usaha high risk high return ini dikombinasikan dengan berbagi resiko usaha dapat diintrepretasikan menjadi pendapatan yang diperoleh semakin tinggi dan resiko usaha ditanggung bersama.
Mudharabah lahir sebenarnya untuk memfasilitasi pihak-pihak yang berperilaku risk aversion. Perilaku risk aversion ini adalah sesuai dengan fitrah manusia yang ingin berbagi resiko dalam berusaha untuk mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Perilaku ini juga natural, karena sifat dasar manusia adalah ingin berbagi jika ada masalah yang akan dihadapi. Mudharabah diluncurkan untuk mencapai hasil yang optimal dari suatu usaha yang akan dilakukan, sehingga jiwa pedagang muncul disini. Mudharabah adalah produk bank syariah yang ingin menciptakan keselarasan dalam usaha yang dikombinasikan dengan sifat dasar manusia tersebut.
Optimalisasi Mudharabah Perilaku risk aversion yang bisa difasilitasi oleh mudharabah ini, memiliki kurva kombinasi antara resiko dan pendapatan yang cekung keatas dari sudut ekonomi. Kurva ini merepresentasikan pendapatan (return) yang tinggi dan resiko yang tinggi pula dalam berusaha.
Kalau kita kaji dalam ilmu ekonomi dikenal istilah optimalisasi pareto. Optimalisasi pareto merupakan keseimbangan antara dua pilihan (dalam hal ini resiko dan pendapatan) yang dapat menyebabkan kepuasan dan hasil yang optimal. Garis keseimbangan pareto pada kasus ini berasal dari kombinasi resiko dan pendapatan yang cekung keatas dan kebawah. Sehingga garis keseimbangan pareto ini melewati garis mudharabah. Hal ini berarti bahwa produk mudharabah itu dapat menyebabkan hasil dan kepuasan yang optimal, karena dilewati oleh garis pareto.
Dengan pembuktian secara ekonomi tersebut, maka sesungguhnya mudharabah itu sesuai dengan alam dunia bisnis, karena dapat menyebabkan keseimbangan yang optimal. Jika pengusaha jeli dan jitu dalam melihat prospek usaha dan memahami ilmu ekonomi, maka pilihannya adalah jatuh pada mudharabah dalam melakukan pembiayaan pada Bank. Sehingga pengusaha tersebut dapat menyebabkan hasil yang optimal dan disertai dengan kepuasan yang juga optimal.
Mudharabah sangat cocok diterapkan pada sektor riil dan pengembangan usaha rakyat, karena sebenarnya sudah sangat seusai dengan pola yang diharapkan mampu me-back up industri besar yang kini mengalami tingkat persaingan yang sangat kompetitif. Mudharabah pada bank syariah bisa dioptimalisasikan melalui berbagai langkah, antara lain adalah kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan. Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam setiap usaha. Oleh karena itu langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci, dan faktual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim usaha tersebut.
Langkah lainnya adalah dengan pengembangan industri-industri kecil yang dibina langsung oleh bank syariah. Industri ini benar-benar milik rakyat, prospektif, dan dikelola dengan amanah. Industrialisasi adalah salah satu kunci penting bagi negara kita untuk dapat survive di saat krisis seperti ini, dan melatih bangsa kita menjadi bangsa yang mandiri.
Langkah terakhir adalah dengan membuat aturan dan regulasi yang tepat, terstandarisasi, dan sesuai dengan prinsip syariah. Kita semua sangat berharap legalisasi produk bank syariah bisa dipertimbangkan oleh DPR untuk menjadi hukum yang positif. Aturan ini nantinya menjadi payung yang sah terhadap gerak-gerik pelaksanaan pembiayaan mudharabah terhadap industri-industri kecil. Mudah-mudahan semakin banyak pihak yang dapat memahami betapa pentingnya mudharabah dalam memainkan peranannya pada setiap pembiayaan usaha di Bank Syariah, sehingga jika ini terjadi, maka sektor riil dapat berkembang pesat dan negara kita akan memiliki industri usaha yang kuat. Dan pada akhirnya mampu mengatasi berbagai permasalahan ekonomi yang kini melanda di negara kita, karena sesungguhnya mudharabah adalah pola yang tepat dalam pengembangan sektor riil di negara kita.

D. Keseimbangan Sektor Riil (Pasar Barang)
1. Dalam Ekonomi Konvensional
Istilah sektor riil dalam pembahasan mengenai ekonomi makro menggambarkan kondisi perekonomian dipandang dari sisi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Oleh karena itu, sektor riil ini juga disebut dengan istilah pasar barang.
Sisi penawaran di pasar barang ini menggambarkan kemampuan perekonomian mengahsilkan barang dan jasa pada suatu periode tertentu. Sedangkan sisi permintaannya menggambarkan pengeluaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi, seperti rumah tangga, perusahaan, pemerintah, swasta, dan luar negeri.
Stabilitas ekonomi makro dilihat dari keseimabangan antara permintaan (yang ditunjukkan oleh total pengeluaran) dan penawaran (yang ditunjukkan oleh kemampuan perekonomian tersebut menghasilkan barangdan jasa) yang terjadi di pasar tersebut.

2. Dalam Ekonomi Islam
Pada sistem ekonomi islam bunga tidak diberlakukan, sehingga keseimbangan di pasar barang pada ekonomi islam sangat berbeda dengan keseimbangan pasar barang pada sistem ekonomi konvensional. Hal itu karena sistem bunga dihapuskan dan diganti dengan tingkat keuntungan yang diharapkan.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Mudharabah sangat cocok diterapkan pada sektor riil dan pengembangan usaha rakyat, karena sebenarnya sudah sangat seusai dengan pola yang diharapkan mampu me-back up industri besar yang kini mengalami tingkat persaingan yang sangat kompetitif. Mudharabah pada bank syariah bisa dioptimalisasikan melalui berbagai langkah, antara lain adalah kesinambungan dan transparansi informasi terhadap usaha yang akan dijalankan. Informasi usaha dan pasar adalah sesuatu yang sangat penting dan berharga dalam setiap usaha. Oleh karena itu langkah ini bisa dimaksimalkan melalui database yang aktual, rinci, dan faktual, sambil terus mencari dan menemukan format usaha yang sesuai dengan iklim usaha tersebut.

B. Saran
Bahwa kita semua merupakan makhluk sosial yang harus saling tolong-menolong. Selain itu juga saling mendukung untuk menciptakan suatu kemaslahatan dan kebaikan bersama. Hal itu bisa dibentuk dalam saling tolong menolong untuk menciptakan suatu aktivitas usaha yang dapat menghasilkan keuntungan yaitu bekerja. Akad mudharabah dalam perbankan syari’ah juga bisa mengoptimalkan sektor riil termasuk membuka lapangan kerja agar dapat mengurangi pengangguran. Untuk itu mari kita semua bisa belajar tentang bagaimana cara bermuamalah yang baik dan bisa beralih dari sistem ekonomi konvensional ke sistem ekonomi syari’ah yang di dalamnya juga terdapat perbankan syari’ah dan terdapat akad mudharabah yang dapat mengoptimalkan sektor riil.

DAFTAR PUSTAKA

S.P. Hasibuan, Malayu. Dasar-Dasar Perbankan. 2008. Jakarta: Bumi Aksara
Muhammad. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syari’ah. 2000. Yogyakarta: UII Press
Hulwati. Ekonomi Islam “Teori dan Praktiknya dalam Perdagangan Obligasi Syari’ah di Pasar Modal Indonesia dan Malaysia. 2009. Jakarta: Ciputat Press
Adiwarman. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. 2001. Jakarta: Gema Insani Press
Hassan, Surtahman Kastin dkk. Mudharabah: Antara Justifikasi Keadilan dan Aplikasinya dalam Sistem Keuangan Malaysia. 2000. Jurnal IKIM
Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam “Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional”. 2005. Yogyakarta: Graha Ilmu
http://www.zonaekis.com

LAMPIRAN

BIODATA PENULIS

Nama Lengkap : Iqbal Sarayulus Nuh
TTL : Kendal, 06 November 1990
Alamat :
– Kos : Jl. Wismasari IV, Ngaliyan, Semarang
– Rumah : Gg. Makmur RT 03/IV, Desa Penanggulan, Kec. Pegandon, Kab. Kendal, Prop. Jawa Tengah 51357
Contact Person : 085 640 952 149
Pendidikan :
1. TK Muslimat NU 06 Tarbiyatu Atfal Penanggulan, Pegandon
2. SD N Penanggulan, Pegandon tahun 2003
3. SMPN 1 Pegandon tahun 2006
4. SMAN 1 Pegandon tahun 2009
5. IAIN Walisongo Semarang
Pengalaman Organisasi:
1. Ketua MPK SMAN 1 Pegandon tahun 2007/2008
2. Kerani (Sekretaris) Gerakan Pramuka SMAN 1 Pegandon tahun 2007/2008
3. Wakil Sekretasis Perstuan Bola Voli Penanggulan (PERVOP)
4. Anggota Dept. Luar Negeri BEMF Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2010
5. Anggota Dept. Usaha dan Ekonomi PMII Rayon Syari’ah Komisariat Walisongo Semarang tahun 2010/2011
6. Anggota Dept. Pengkaderan Ikatan Mahasiswa Kendal (IMAKEN) cabang Walisongo Semarang tahun 2010/2011
7. Manajer Administrasi (Sekretaris) Forum Studi Hukum Ekonomi Islam (ForSHEI) Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2010/2011
8. Ketua HMJ Perbankan Syari’ah, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang tahun 2011