HARUSKAH OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) DITERAPKAN DI INDONESIA?


Setelah DPR-RI menyelesaikan rapat paripurna pada tanggal 19 Desember 2003 tentang amandemen undang-undang (UU) Bank Indonesia. Usulan amandemen undang-undang ini diusulkan oleh Pemerintah era Presiden Gus Dur melalui Departemen Keuangan waktu itu yang dipimpin oleh Menteri Keuangan Boediono. Boediono menyebutkan bahwa undang-undang hasil amandemen tersebut adalah undang-undang bank sentral modern.

Masalah yang paling krusial dalam pembahasan amandemen undang-undang tersebut adalah siapa yang mempunyai kewenangan untuk mengawasi lembaga perbankan di Indonesia. Terjadi tarik ulur yang alot antara Bank Indonesia dengan Pemerintah yang diwakili Kementrian Keuangan. Negosiasi yang alot tersebut menghasilkan titik temu, yaitu membentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang akan dibentuk selambat-lambatnya pada akhir tahun 2010.

Dengan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan, berarti telah memangkas salah satu kewenangan Bank Indonesia, yaitu dalam fungsi pengawasan terhadap perbankan umum di Indonesia. Pemisahan kewenangan tersebut berarti Bank Indonesia tidak mempunyai hak pengawasan lagi, ibarat harimau tak bertaring. Akhirnya perbankan umum sudah tidak tunduk lagi terhadap kebijakan Bank Indonesia sebagai pengawasnya.

Pemisahaan antara kewenangan pengawasan (OJK) dan kewenangan pengaturan (BI) industri perbankan tidak tepat dan sangat lemah. Karena pengawasan bank meliputi fungsi pengaturan, pengawasan (audit), pengenaan sanksi dan pemberian/pencabutan ijin usaha sehingga keempat fungsi tersebut harus berada di satu tangan. Pemisahan antara pengawasan (audit) dengan pengaturan tentunya akan menimbulkan berbagai masalah koordinasi. Kita semua paham bahwa koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Dengan amendemen masalah ini dapat diselesaikan karena OJK memiliki seluruh fungsi pengawasan tersebut.

Melihat pengalaman-pengalaman dari negara-negara maju yang terdapat lembaga semacam OJK, ternyata telah gagal dan membawa dampak buruk terhadap perekonomian nasional di negara yang bersangkutan tersebut. Contohnya di Jepang dalam menerapkan FSA, suatu lembaga semacam OJK, pada saat industri perbankan Jepang masih bermasalah. Penerapan FSA ternyata tidak membuat industri perbankan Jepang menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari bangkrutnya Long-Term Credit Bank dan Nippon Credit Bank, dua bank besar yang terbukti merekayasa pembukuannya. Masalah koordinasi antara FSA dengan bank sentral juga muncul misalnya dalam kasus Ishikawa Bank dan masalahkredit macet dan kecurangan (fraud) masih mewarnai perbankan Jepang.

Terkait dengan lembaga apa yang akan berwenang mengawasi industri perbankan di Indonesia. Semua kembali pada kebijakan politik DPR di luar kewenangan Bank Indonesia. Siapa yang berkepentingan kebijakan tersebut dan siapa yang lebih kuat pengaruhnya. Akan tetapi kebijakan tersebut haruslah pro-rakyat dan untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan golongan semata saja.

Dengan melihat fakta empiris dan pengalaman-pengalaman dari negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, Inggris yang telah gagal menerapkan sistem pengawasan perbankan kepada lembaga semacam OJK. Apakah di Indonesia juga masih perlu diterapkan dan dibentuk OJK untuk mengawasi perbankan?

Tinggalkan komentar