PENERAPAN PRINSIP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PERBANKAN SYARI’AH


Penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance menjadi suatu keniscayaan bagi sebuah institusi, termasuk bagi lembaga keuangan seperti bank syari’ah. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab kepada masyarakat atas kegiatan operasioanal bank yang diharapkan benar-benar mematuhi ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan yang berlaku Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 200 tentang Perbankan Syari’ah.
Secara yuridis bank syari’ah bertanggung jawab kepada banyak pihak (stakeholders), yaitu nasabah penabung, pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai, pemasok, masyarakat, dan lingkungan, sehingga penerapan GCG menjadi suatu kebutuhan bagi bank syari’ah. Penerapan GCG merupakan wujud pertanggungjawaban kepada masyarakat bahwa bahwa bank syari’ah dikelola dengan baik, profesional, dan hati-hati dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya.
Dengan demikian bahwa penerapan prinsip-prinsip GCG dalam sebuah operasioanl perusahaan terutama yang bergerak dalam bidang keuangan seperti bank terutama bank syari’ah sangatlah penting. Karena dalam operasionalnya, pihak bankir dituntut untuk selalu melaksanakan prinsip kehati-hatian bank dalam memberikan jasa dan layanan keuangan kepada masyarakat. Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan harus mampu melakukan penilaian dan penindakan terhadap pelaksanaan GCG bank.
Seiring dengan tuntutan penerapan GCG pada sektor perbankan, maka pada tahun 2006 Bank Indonesia menggagas peraturan yang secara khusus mengatur mengenai ketentuan pelaksanaan GCG di Bank Umum. Peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum yang kembali disempurnakan melalui PBI No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan Atas PBI No. 8/4/PBI/2006, kemudian disempurnakan lagi PBI Nomor 11/33/PBI/2009 tanggal 7 Desember 2009 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/13/DPbs tanggal 30 April 2010 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syari’ah dan Unit Usaha Syari’ah. Peraturan ini menegaskan bahwa pelaksanaan GCG pada industri perbankan harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip dasar yakni keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).
Dalam pelaksanaan GCG tersebut, diperlukan keberadaaan Komisaris Independen dan Pihak Independen. Keberadaan pihak-pihak independen tersebut, diharapkan dapat mengatasi dampak moral hazard dan menciptakan check and balance, menghindari benturan kepentingan (conflik of interest) dalam pelaksanaan tugasnya serta melindungi kepentingan stakeholders khususnya pemilik dana dan pemegang saham minoritas. Selain itu, PBI ini juga mewajibkan bank untuk menyampaikan Laporan Pelaksanaan GCG pada setiap akhir tahun buku dan paling lambat 5 bulan setelah tahun buku berakhir. Bagi bank yang tidak memenuhi ketentuan dalam PBI ini akan dikenakan sanksi.
Selain itu, pelaksanaan GCG harus mempunyai beberapa perangkat dasar, antara lain: (1) sistem pengendalian intern, (2) manajemen resiko, (3) ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan informasi, (4) sistem akuntansi, (5) mekanisme jaminan kepatuhan syari’ah, (6) audit ekstern. Dari keenam perangkat tersebut pada dasarnya berlaku bagi semua bank baik bank konvensional maupun bank syari’ah. Yang membedakannya adalah bahwa di bank syari’ah perlu adanya perangkat yang dapat menjamin kepatuhan kepada nilai-nilai syari’ah. Hal demikian tidak dijumpai dalam sistem perbankan konvensional.
Dari beberapa uraian diatas, bahwa sebagian besar struktur governance untuk bank konvensional berlaku juga untuk bank syari’ah. Mengenai hal ini kita merujuk kepada hukum tentang perusahaan, bursa efek, dan keuangan. Salah satu isu adalah mengenai peran auditor eksternal. Sebagian menyatakan bahwa auditor eksternal tidak layak melakukan penyeliaan keagamaan. Sebagian lainnya berpendapat bahwa mereka harus melakukannya, karena keterikatan pada syari’ah termasuk dalam nota kesepakatan (Memorandum of Agrement) dan Articel of Association Bank yang harus dijunjung tinggi oleh auditor.
Khusus untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syari’ah oleh bank paling tidak terdapat dua langkah penting yang perlu ditempuh, yaitu:
1. Perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan dari otoritas fatwa dalam hal ini DSN-MUI dalam hal menentukan kehalalan atau kesesuaian produk dan jasa keuangan bank dengan prinsip syari’ah.
2. Perlunya mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau transaksi keuangan bank sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa perbankan. Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul adalah masih minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu fiqh dan syari’ah serta sekaligus memiliki pengetahuan perbankan yang memadai.
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, bank dapat mempublikasikan laporan pelaksanaan GCG melalui website bank yang bersangkutan.
Oleh karena itu, maka sangat diperlukan GCG dalam bank syari’ah. Pelaksanaan Tata Kelola Perusahaan yang baik (GCG) di Bank Syari’ah merupakan bagian tak terpisahkan dari Spirit bank syari’ah tersebut, yang intinya adalah semangat tanggung jawab, kewajiban, keterbukaan dan keadilan melalui pengabdian serta ketundukan kepada Allah SWT dan melalui pemerataan kemampuan, pengetahuan, informasi dan penghargaan. Semangat inilah yang menjadi dasar bagi tata kelola usaha/bisnis dan kode etik dalam bank syari’ah, termasuk dalam memberikan pembiayaan untuk bisnis syari’ah.

TEORI UANG MENURUT IBNU KHALDUN


Ukuran ekonomis terhadap nilai barang dan jasa perlu bagi manusia bila ingin memperdagangkannya pengukuran nilai ini harus memiliki sejumlah kualitas tertentu. Ukuran ini harus diterima oleh semua tender legal, dan penerbitnya harus bebas dari semua pengaruh subjektif.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan negara bukanlah ditentukan dari banyaknya jumlah uang yang ada dan beredar di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan oleh neraca pembayaran yang positif. Bisa saja suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya namun bila hal itu bukan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Sektor produksi yang menjadi motor penggerak pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, menimbulkan permintaan atas faktor-faktor produksi lainnya. Pendapat ini menunjukkan pula, bahwa perdagangan internasional telah menjadi bahasan utama para ulama waktu itu. Negara yang banyak mengekspor berarti mempunyai kemampuan produksi lebih besar dari kebutuhan domestiknya, sekaligus menunjukkan bahwa negara tersebut lebih efisien dalam produksinya.
Ibnu Khaldun juga mengatakan bahwa uang tidak perlu mengandung emas dan perak, namun emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang mengandung emas dan perak merupakan jaminan Pemerintah, bahwa ia senilai sepersekian gram emas dan perak. Sekali Pemerintah menetapkan nilainya, maka Pemerintah tidak boleh mengubahnya. Pemerintah wajib menjaga nilai mata uang yang telah dicetaknya, karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas dan perak di dalamnya. Misalnya, Pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp. 10.000 yang setara dengan setengah gram emas. Apabila kemudian Pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp. 10.000 seri baru dan ditetapan nilainya setara dengan seperempat gram emas maka uang akan kehilangan makna standar nilai.
Oleh karena itu, Ibnu Khaldun selain menyarankan digunakannya standar emas atau perak, beliau juga menyarankan konstannya harga emas dan perak tersebut. Harga-harga lain boleh berfluktuasi, tetapi tidak harga emas dan perak. Dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah, kenaikan harga atau penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Bila lebih banyak makanan dari yang diperlukan di suatu kota, maka harga makanan murah dan sebaliknya.
Bagi Ibnu Khaldun, dua logam mulia emas dan perak, adalah ukuran nilai. Logam-logam ini diterima secara alamiah sebagai uang dimana nilainya tidak dipengaruhi oleh fluktuasi subjektif.
Karena itu, Ibnu Khaldun mendukung penggunaan emas dan perak sebagai standar moneter. Baginya, pembuatan uang logam hanyalah merupakan sebuah jaminan yang diberikan oleh penguasa bahwa sekeping uang logam mengandung sejumlah emas dan perak tertentu. Percetakannya adalah sebuah kantor religius, dan karenanya tidak tunduk kepada aturan-aturan temporal. Jumlah emas dan perak yang dikandung dalam sekeping koin tidak dapat diubah begitu koin tersebut sudah mulai diterbitkan.
Ibnu Khaldun mendukung standar logam dan harga emas dan perak yang konstan. Jadi, uang logam bukan hanya ukuran nilai tetapi dapat pula digunakan sebagai cadangan nilai.

PEMIKIRAN Prof. H. ABDUL QODRI AZIZY, M.A., Ph.D TENTANG SOLUSI ATAS PROBLEMATIKA UMAT ISLAM DAN KRISIS


Dalam menjalani kehidupan di dunia pasti selalu ada permasalahan yang menjadi problem yang harus dipecahkan atau tantangan yang harus di hadapi dan diselesaikan. Hal ini terjadi dari tingkat pribadi, keluarga, tetangga, organisasi, umat beragama, bangsa dan negara, serta dunia.
Ketika kita berbicara tentang problematika bangsa, maka cakupannya adalah negara, sehingga perbedaan agama tidak menjadi batasan. Artinya, siapapun berhak menjadi warga negara dan berhak hidup di dalamnya yang telah dijamin dengan konstitusi negara walaupun orang tersebut beragama apapun. Ketika kita berbicara tentang problematika dunia, maka cakupannya adalah dunia yang sangat luas ini. Perbedaan ras, bangsa, agama, golongan, suku tidak menjadi batasan. Siapapun berhak mendapat kehidupan dan penghidupan yang layak dan terbebas dari penindasan dan penjajahan. Ketika kita berbicara tentang tetangga atau RT, maka batasannya adalah RT. Orang-orang yang tidak menjadi anggota RT tidak termasuk di dalamnya.
Namun, ketika kita berbicara tentang umat islam, maka batasannya adalah agama islam. Kita yang memeluk agama islam menjadi satu kesatuan yang kokoh di dalamnya yang sama-sama menghadapi problematika. Dalam waktu yang bersamaan, kita ditantang untuk mampu menghadapi dan menyelesaikan problematika. Kita juga harus sadar bahwa ketika kita berbicara tentang umat islam, akan terdapat banyak perbedaan organisasi di dalamnya, namun pengikutnya sama-sama beragama islam. Oleh karena itu, ketika kita menghadapi problematika umat islam, maka kita tidak akan pernah bisa lepas dari probematika intern organisasi yang menjadi bagian dari umat tersebut.
Dalam kerangka seperti inilah kita aka mencoba melihat problematika umat islam. Dalam hal ini problematika yang paling penting untuk dipecahkan dan diselesaikan bersama adalah tentang pendidikan dan ekonomi umat islam. Oleh karena itu, marilah kita singkirkan semua perbedaan diantara kita untuk membangun fondasi umat yang kokoh agar bisa terhindar dari kebodohan dan kemiskinan dengan cara meningkatkan taraf pendidikan dan ekonomi.
Problematika dari umat islam yang sangat kronis tidak lain adalah tentang kemiskinan dan kebodohan. Tingkat ekonomi umat dan pendidikan memang ada hubungannya, sehingga untuk meningkatkan taraf ekonomi adalah dengan meningkatkan taraf pendidikan. Pendidikan sangat diperlukan oleh masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Demikian pula bagi masyarakat yang sejahtera dan taraf ekonominya bagus, maka akan selalu memperhatikan tingkat pendidikan dengan kualitasnya.
Saling mempengaruhi antara pendidikan dan kemajuan ekonomi, ada pula yang negatif dan menjadi problematika bersama umat islam. Contohnya, “sekolah mahal” yang banyak dikeluhkan oleh orang-orang marginal. Yang mampu dan bisa menyekolahkan anaknya di sekolah yang mahal dan mewah hanyalah golongan orang-orang kaya. Dalam waktu bersamaan yang bisa mendapatkan jaminan lapangan pekerjaan yang menjanjikan hanyalah mereka yang bisa menikmati sekolah mahal dan mewah. Hal ini juga terjadi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat sebagai akibat negatif yang lebih jauh, kenyataan ini akan berpengaruh pada pola kehidupan dan kultur masyarakat yang sangat berpotensi pada sistem kapitalisme. Yaitu yang kaya tetap kaya dan yang miskin tetap miskin, tanpa ada pemerataan kekayaan diantara mereka. Padahal, yang seharusnya terjadi yang kaya agar tetap bisa mempertahankan kekayaannya dengan cara yang baik dan benar serta mau berbagi dengan sesamanya dan yang miskin agar mampu mengubah pola kehidupannya dan mampu mengubah dirinya untuk menjadi kaya.
Yang paling penting adalah bahwa umat islam bersedia saling belajar dan megajari. Bagi yang merasa belum bisa dalam masalah pendidikan dan ekonomi harus mau belajar dengan mereka yang sudah lebih bisa dan mempunyai banyak pengalaman. Demikian pula bagi yang sudah lebih bisa dan mempunyai banyak pengalaman harus mau mengajari mereka yang belum bisa dan berpengalaman tentang pendidikan dan ekonomi. Disinilah konsep ukhuwwah dalam mempraktikkan ajaran al-ta’awun ala al-birr (saling membantu dalam kebajikan), bukan hanya sekedar wacana saja.
Jika berpikir tentang sumber daya manusia (SDM) dan jumlah manusia dijadikan sebagai modal dasar dalam aktifitas ekonomi, maka sebenarnya umat islam semestinya bisa menjadi sumber daya manusia yang besar dan kuat. Satu hal yang belum bisa digarap secara serius adalah pemberdayaan umat islam secara komprehensif. Seperti contoh dari sisi perekonomian, misalnya: umat islam Indonesia yang jumlhanya sangat banyak bahkan terbesar di dunia diposisikan sebagai konsumen. SDM yang tersebar di berbagai perusahaan, instansi dan oganisasi semestinya dapat dikelola dengan baik dan profesional. Dengan pengelolaan dan manajemen yang baik dan benar, maka kita sebenarnya mampu menciptakan self suffiency.
Sukses menggunakan dalil ajaran islam (justifikasi agama) untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat dan dalam waktu yang bersamaan sejauh mana pula manajemen pimpinannya. Jika hal ini bisa terselesaikan, maka problematika kemiskinan dan kebodohan akan bisa teratasi sekikit demi sedikit.
Tantangan era globalisasi yang berkonsekuensi pasar bebas sudah tampak dan merambah di depan kita. Hal ini juga tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan dengan cerdas dan sukses. Jadi, kebodohan dan kemiskinan umat bisa dikatakan sebagai amalan yang keliru dan pemahaman yang keliru pula terhadap ajaran-ajaran agama islam. Anggapan yang ada selama ini bahwa ajaran islam menghambat kemajuan pendidikan dan aktivitas ekonomi umat, harus segera diluruskan bahwa anggapan tersebut ternyata salah besar. Justru ajaran islam selalu mengajarkan umat untuk menjadi umat yang kaya dan bisa berbagi dengan sesamanya.
Semangat ajaran islam adalah membangun umat yang kaya. Tetapi juga ada problematikanya, seperti kesalahan dalam mengamalkan ajaran islam. Kesalahan ini terutama disebabkan oleh kesalahan pemahaman dan penafsiran terhadap ajaran agama islam. Ajaran dalam praktik, yang biasanya diyakini oleh mayoritas umat islam, dan terlebih lagi bagi mereka yang taat beragama, tidak menyentuk tuntutan kemajuan ekonomi di dunia. Yaitu, ajaran-ajaran yang pada intinya menjauh dari hiruk pikuk keduniaan dan yang memfokuskan pada keakhiratan berupa ibadah murni yang justru mendapatkan penekanan oleh para mubaligh dan uztadz. Terjadi banyak kontradiktif: antara ideal ajaran islam dengan realita umatnya, antara istilah ajaran dengan pemaknaannya dan praktiknya, antara sasaran inti dari ajaran dengan pemahaman yang kemudian menghambat kemajuan keduniaan, dan lain sebagainya. Intinya adalah terjadi kontradiktif antara semangat ajaran islam yang menyuruh umatnya jaya keduniaan dengan realita umat yang terbelakang dalam berbagai aspek.
Dengan semangat ajaran islam yang mengajarkan umat agar menjadi umat yang kaya, makmur, dan sejahtera. Jika semua umat islam mau mengamalkan ajaran tersebut, maka umat islam akan terbebas dari kemiskinan dan kebodohan dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dan dengan semangat etos kerja yang tinggi untuk menjadi umat yang kaya, maka umat islam juga dapat menjadi roda dan penggerak perekonomian bangsa dan juga bisa membantu negara dalam menuntaskan semua krisis yang melanda negeri ini termasuk krisis finansial.